Deli Serdang, (Demon) “Kerupuk… puk…kerupuk ..puk,” teriak, suara keras dari pedagang kerupuk di siang hari. Teriakan suara itu, untuk memanggil para pembeli, seirama dengan panasnya terik matahari menjelang tengah hari.
“Kerupuknya Pak !” ujarnya dengan lembut sembari menawarkan kerupuknya kepadaku, tersenyum ramah. Kemudian langsung ku jawab, sambil memberi kode memanggil, “Singgah lah sebentar nak,”.
“Alhamdullillah, buka dasar nih Pak. Mau pilih kerupuk yang mana Pak?” tanya anak itu lagi. “Yang ini rasa jengkol. Ini rasa tenggiri, jangek sama rasa udang .Yang ini gurih loh Pak. Kalau penasaran boleh dibeli semua,” tutur penjual kerupuk itu, seolah-olah, memainkan dan menjalankan jurus marketing profesionalnya.
“Mau minum kopi, teh Manis?” tanyaku menawarkan minuman. “Istirahat barang sebentar nak, buat berteduh,” ujarku lagi memulai obrolan.
“Air putih saja Pak,” jawabnya.
Ku perhatikan sejenak anak itu. Kulitnya hitam legam, dibakar panas matahari. Mungkin karena berjalan berkilometer. Menyusuri jalan dan gang sempit. Tak lantas membuatnya menyerah dalam berjualan kerupuk meski dengan cara dipikul.
“Sudah berapa lama nak berjualan kerupuknya?” tanyaku, mengawali bercerita.
“Sudah 2 tahun ini Pak. Saya berjualan kerupuk ini, karena sekolah tidak tamat SMA. Orang tua tidak punya biaya lagi sedangkan adek-adek sekolah di SD dua orang sama SMP satu orang, bukan saya bandel dan malas sekolah loh Pak,” sambil tersenyum, seolah menegaskan cerita itu benar adanya.
Sore atau paginya kerupuk diambil 80 bungkus, 40 di depan 40 belakang lalu dikat. “Ya kadang habis kadang tidak, tapi kalau hari Minggu 100 bungkus bisa habis. Kalau tak habis ku jual lagi esoknya pak,” sambil menghela nafas panjang.
Mendengar itu saya nyeletuk, “Selama ini kan jualannya gratis ongkos kirim, kalau saya beli 5 bungkus ada enggak diskonnya atau program beli 5 bungkus dapatnya 6 bungkus?” tanyaku penuh selidik sambil tersenyum.
“Yang ada promonya cuma gratis ongkir aja pak,” jawabnya, akhirnya kami berdua tertawa renyah….
Saat ku tanya. “Apa pengalaman yang paling berkesan saat berjualan kerupuk?”.
Ia pun bertutur mengkilas kembali kenangan itu, “Siang menjelang sore itu sehabis makan di rumah saya tidur sebentar, setelah itu berjualan lagi Pak! Eh…pas di sebuah gang, saya dipanggil sama dua anak muda, saya datanglah pak namnya dipanggil,”.
Tiba di tempat, “Yang satunya diam sambil matanya melotot penuh curiga dan terus mengawasi saya, sementara yang satunya bertanya sama saya pak : “Kamu Intel ya”? sambil membentak. Saya pun menjawab, “Enggak bang, aku cuma jualan kerupuknya bang,”.
Kalau gitu sebungkuslah kerupukmu untuk kami ya, “Tapi ikhlas lah kau?“ tidak lama diulangnya kembali, “Ikhlasnya kau?”. Sebelum dijwab, terus kawan yang satunya menyuruh membuka tas saya.
“Iya, ikhlas aku bang, ini sedekahku untuk Abang,”. Sontak tertawa lagi kami berdua mendengar kisahnya, antara sedih dan lucu.
“Terus si Abang yang banyak tanya tadi ngomong gini pak, “Kalau mau sedekah ngapain pula harus nunggu aku tanya ikhlasnya kau?”. Dilanjutnya lagi, “Kau itu ya kalau sedekah jangan nunggu ku minta, paham,”.
Itu lah ceritanya Pak, “Sejak itu, saya tak pernah lagi pakai tas pak buat simpan uang,”.
Sepenggal kisah dari sang penjual kerupuk membuat alam pikirku melayang entah kemana. Kupandangi spanduk, stiker dan banner para caleg, calon DPD dan capres yang menempel di tiang listrik, tiang telepon dan di rumah-rumah warga.
Ku baca perlahan, Bekerja untuk rakyat, Sejahtera bersama rakyat, Berjuang bersama rakyat dan entah apalagi yang intinya mohon doa dan dukungan agar jadi dan dipilih.
Benarkah semua itu? Diriku juga tak mampu menjawabnya. Ada yang benar-benar tulus untuk membangun lingkungan, peduli dalam segala hal dan sebagainya dan ada juga yang abai serta lupa setelah dirinya terpilih.
Ada juga bupati, gubernur dan walikota saat mencalonkan diri santun dan ramahnya luar biasa bak tanpa dosa begitu terpilih zalim terhadap rakyat dan warganya.
Fasilitas yang melekat pada dirinya semua tercukupi mulai dari makan, beli barang bermerk yang mahal, pelesiran, sekolah anaknya di luar negeri dan tabungan di bank sementara disatu sisi sekedar untuk makan isi perut yang lapar pun sudah kesulitan.
Siapa yang salah, itu sulit untuk diurai. Bak benang basah yang kusut masai. Ada satu kisah dari seorang anak bangsa, terabaikan dunia di pendidikannya. Hanya karena persoalan klise yang dari zaman ke zaman. Selalu jadi alasan. Tak ada biaya.
Dan itu bukan persoalan yang sepele. Apakah karena orangtua yang minus informasi. Lingkungan yang kurang peduli. Atau memang sistem yang sudah salah kaprah. Entahlah