Oleh : Budi Sudarman
Serasa tak ada habis-habisnya cobaan menerpa institusi Kepolisian Republik Indonesia yang pada saat ini di bawah komando Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo.M.Si sebagai Kapolri yang menjabat sejak 27 Januari 2021, sebelum dilantik menjadi Kapolri, Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo mengusung konsep Presisi saat menjalani Fit and Proper Test di depan anggota DPR-RI.
Presisi adalah konsep kepemimpinan untuk menaikkan tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja polisi yang sangat rendah dalam berbagai aspek pelayanan kepada warga masyarakat. Artinya Listyo Sigit Prabowo sebelum menjabat Kapolri sudah mengetahui bahwa Polisi Indonesia telah mengalami dekadensi moral yang sangat serius. “Pelayanan yang masih berbelit-belit, ucapan anggota yang masih arogan, adanya pungli di berbagai sektor pelayanan, kekerasan dalam penyelenggaraan masalah, penanganan kasus tebang pilih dan perilaku lainnya yang menyebabkan kebencian di masyarakat” jelas pak Listyo Sigit kepada para anggota dewan.
Pada perjalanan selanjutnya, Sabtu (30/10/2021) masyarakat difasilitasi mengkritik kinerja polisi lewat Bhayangkara Mural Festival 2021 tentu ini hajatan untuk para seniman dan yang berjiwa seni, pembinaan SDM di internal dan pada akhirnya semua elemen masyarakat diajak berperan serta apakah itu lewat seminar, tulisan dan tayangan diberbagai media sosial.
Adakah perubahan signifikan, dengan begitu banyak kegiatan yang diselenggarakan? Jawabnya tidak. Malah semakin menjadi apa yang dilakukan oleh oknum-oknum Polri. Kasus Ferdi Sambo dkk, selaku dedengkot polisinya polisi pun berbuat keji dan biadab kepada bawahannya, Brigadir Novriansyah Joshua Hutabarat, Teddy Minahasa Putra dengan kasus Sabu ditukar Tawas yang pada akhirnya harus menjalani vonis penjara seumur hidup sesuai putusan majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. dan yang terakhir menyita perhatian publik dalam dan luar negeri adalah kasus kematian Vina dan Eky di Kabupaten Cirebon yang bakal menyeret lagi anggota Polri.
Para praktisi hukum, para politikus, negarawan, akademisi, awak media, pengusaha bahkan rakyat jelata mengetahui dan sudah menjadi rahasia umum bahwa pada proses rekrutmen calon anggota Polri itu bibitnya sudah rusak. Rusaknya bibit itu karena berbagai faktor diantaranya sebagai berikut : titipan petinggi dan pejabat negara, sejumlah uang sogokan dan “orang dalam”.
Hal yang wajar dan manusiawi jika orangtua ingin meneruskan jejak pengabdiannya pada bangsa dan negara ini diwariskan kepada keturunannya. Sama halnya sang pengusaha pun begitu, ingin anaknya mengikuti jejak orangtua dalam mengelola bisnis yang sudah dirintis dengan susah payah.
Bibit yang rusak tak akan memberikan hasil buah yang baik. Meski dipupuk dengan siraman rohani di bagian pembinaan mental bahwa masa pensiun polisi itu hanya diusia 60 an tahun. Bahwa ada surga dan neraka bagi polisi yang taat beribadah serta menjaga dari hal-hal yang berbuat salah dan dosa dan ada hukuman bagi yang melanggar hukum Tuhan.
Ada sebuah kalkulasi untuk menjadi anggota Polri, sudah habis dana berapa? Meski sogokan sejumlah uang juga belum tentu berhasil. Proses rekrutmen polisi itu butuh biaya yang digunakan untuk pelatihan fisik dan mental sebelum memasuki fase pendaftaran, cek kesehatan dan kecerdasan. Sehingga biaya itu menjadi abu-abu apakah itu uang suap atau uang masuk? Apakah itu uang suap atau uang ucapan terima kasih? Apakah itu uang suap atau uang jasa atas biaya transportasi dan waktu untuk melobi lingkar jaringan?.
Diskresi Kepolisian juga menjadi sebuah kekuatan bagi Polri untuk menjerat bagi siapa yang coba-coba “menyenggol” kegiatan bisnis haram para anggotanya. Sehingga masyarakat merasa apatis dan masa bodoh sehingga malah semakin menjadi-jadi perilakunya.
Rasa apatis warga masyarakat diungkapkan oleh akun @jody99 di medsos TikTok dengan caption “sebenarnya kita ga butuh polisi cuma kita ga enakan saja sama negara” demikian unggahan akun tersebut hingga menjadi viral. Bagaimana mungkin di sebuah institusi penegakan hukum kepolisian malah jadi tempatnya kejahatan suap menyuap. Lihatlah saat pengurusan SIM kegiatan tersebut menjadi sebuah pertunjukan Opera Pungli yang sudah menjadi rahasia umum.
Sementara disatu sisi pihak Mabes Polri ingin saat warga masyarakat dalam pengurusan SIM semakin mudah prosesnya, penilaian yang transparan dalam tingkat kelulusan malah pengadaan alat Tes Simulator SIM dijadikan lahan korupsi oleh sang jenderal hingga menyeret eks Wakakorlantas Polri, Brigjen Pol. Didik Purnomo dengan vonis 5 tahun penjara dan Irjen Joko Susilo, selaku Kakorlantas Mabes Polri hingga harus mendekam dalam penjara sesuai putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, penjara selama 18 tahun dan denda 1 miliar, sementara harta bendanya di rampas untuk negara.
Miris melihat institusi Polri dikotori oleh oknum-oknum nakal, oknum yang bila dikumpulkan menjadi penduduk satu kecamatan.
Sulit untuk menghentikan perilaku busuk dan jahat oknum polisi, karena setaraf Akademi Polisi yang melahirkan pimpinan komando pun banyak melahirkan oknum polisi nakal. Dididik dengan disiplin yang ketat dan tinggi tak serta merta menjadikan mental mereka baik, karena proses yang menjadikannya sudah terkontaminasi bakteri dan racun jahat. Hanya yang punya imun kuatlah yang akan menjadi sosok polisi baik yang bakal melayani dan mengayomi.
Kita merasa prihatin melihat polisi yang benar-benar tulus jiwa raga dan pengabdiannya untuk bangsa dan negara seragamnya dikotori oleh koleganya. Masih banyak polisi yang mencari uang tambahan dari usaha dan bisnis yang halal lagi baik, sosok polisi yang membuka warung sembako, ada yang spesialis membuat usaha Lengkong (CinCau) yang perharinya laku ratusan kilogram.
Indonesia butuh polisi yang benar-benar humanis, melayani dan mengayomi. Masih banyak polisi yang jujur, sehingga untuk mengurus kenaikan jenjang dan pangkat pun dalam batas kepatutan dan kewajaran.
Berbenahlah polisiku untuk Indonesia yang baik.